Itu adalah sebuah kalimat
yan terkenal yang didengungkan oleh Marthin Luther King, Jr. dalam pidatonya
saat memperjuangkan hak orang-orang kulit hitam di Amerika. Saat itu masyarakat
Amerika masih sangat rasis. Perbedaan hak yang didapatkan sangat mencolok. Tentang
toilet yang dipisahkan berdasarakan warna kulit. Bahkan hingga rumah sakit pun
dipisahkan berdasarkan warna kuliat.
Saat
itu Marthin Luther King, Jr. menyatakan bahwa ia bermimpi (dan akan
memperjuangkan mimpinya itu) bahwa kelak keturunannya tidak akan dinilai
berdasarkan warna kulitnya melainkan berdasarkan watak mereka.
Maka
kini saya pun menyatakan bahwa “I have a dream” yang dalam bahasa Indonesia
saya artikan “Saya memiliki Impian”.
Impian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai barang yang diimpikan; barang yang sangan diinginkan.
Impian
saya tidak sehebat milik Martin Luther King, tapi saya berharap kelak dengan
mencapainya saya pun bisa memberi manfaat pada lingkungan sekitar saya. Mimpi
saya sangat sederhana, saya ingin menjadi penulis.
Mimpi
ini bukan muncul mendadak karena semakin banyaknya penulis yang berhasil
memperoleh kekayaan dan popularitas karena tulisannya. Karena pada kenyataannya
saya pun mengenal beberapa penulis yang tidak bisa menggantungkan hidup
sepenuhnya pada proses kreatifnya. Ia tetap harus mencari sampingan. Bahkan ada
yang secara langsung berkata, “Atria, kalau mau kaya jangan jadi penulis deh. Penghasilan
penulis itu tidak menentu. Hanya keberuntunganlah yang membuat beberapa penulis
itu menjadi kaya dan terkenal. Sisanya?? Ya seperti saya ini.”
Keinginan
untuk menjadi penulis sudah terbit sejak saya kecil. Saat saya masih duduk di
bangku sekolah dasar. Karena menjadi anak perempuan satu-satu dan tidak
diizinkan bermain di luar rumah, maka buku adalah salah satu pelarian saya.
Awalnya dengan membaca majalah dan komik. Saat membaca majalah anak-anak saya
tertarik pada kolom puisi yang terdapat di dalamnya. Saat itu saya sangat
berharap bisa menemukan nama saya terpampang di dalamnya. Namun celotehan itu
hanya dianggap angin lalu oleh mama dan papa. Saya yang tidak tahu bagaimana
caranya bisa mengirim karya ke majalah tersebut pun akhirnya menyerah. Saya pun
menuliskan puisi-puisi saya dalam sebuah buku yang sesekali saya perlihatkan ke
pada mama dan papa. Namun karena mama sibuk mengurus kelima orang anaknya, dan
papa sibuk mencari penghidupan untuk keluarganya; impian saya ini kembali
meredup.
Di SMP
saya berkenalan dengan sejumlah majalah remaja yang memuat cukup banyak cerpen
dalam setiap edisinya. Saya melahap habis cerpen-cerpen tersebut sambil
berpikir, “Kapan ya karya saya bisa terpampang di majalah?” sayangnya
angan-angan ini pun tidak terwujud. Saya kemudian menyalurkan kegilaan saya
pada membaca. Saya membaca dan membaca. Menulis hanya sekedar memenuhi tugas
sekolah. Hingga saat kelas 3 SMP saya terdorong untuk mendirikan ekskul mading
yang saat itu belum ada di sekolah. Keinginan saya ini didukung penuh oleh
sekolah. Bersama 3 orang sahabat saya, kami memulai ekskul tersebut. Memasang
pengumuman menampung karya puisi dan cerpen. Rapat tentang rubrik mading dan
lain sebagainya. Sayangnya saat mading ini baru terbit 2 edisi, saya harus
pindah sekolah dan sekali lagi impian saya meredup.
Di
Sekolah Menengah Atas, saya kembali mencoba dunia kepenulisan. Saya
mendaftarkan diri dalam organisasi jurnalistik di sekolah. Sayangnya kegiatan
ini tidak bisa saya ikut maksimal karena aturan dari mama yang melarang saya
bermain sepulang sekolah. “Pulang sekolah langsung pulang ke rumah,” itu adalah
ultimatum tegas setiap pagi yang saya terima dari mama. Saya yang tidak punya
keberanian (yang sering disebut terlalu “lurus” oleh kawan-kawan saya) pun
patuh. Suatu hari, saya mengetahui bahwa ada lomba cerpen untuk siswa(i) SMA di
kota tempat saya tinggal. Saya pun mengajak serta teman saya yang lain untuk
mengikuti lomba tersebut. Naskah kami kirim bersama. Hingga akhirnya kami
dikabari untuk hadir di bedah naskah yang diadakan di salah satu pusat
perbelanjaan yang cukup terkenal di kota kami.
Saat
itu, mama sudah marah-marah kepada saya. Ia tidak suka saya memupuk mimpi
menjadi penulis. Katanya mau jadi apa saya dengan mimpi seperti itu. Mau jadi
penulis? Mau makan apa dari hasil tulisan saya? Dan omelan ini terus berlanjut
saat mengetahui saya bahkan tidak memenangkan satu kategoripun. Malah teman
yang mengirim naskah bersama saya berhasil menyabet gelar juara satu. Sejak
saat itu saya pun berfikir menyerah apalagi saat mengetahui teman saya ini
sejak saat itu terus berprestasi dalam menulis. Iri dan sakit hati. Kesenangan
saya menulis lama kelamaan mati. Saya tetap melahap buku-buku dan bahkan tanpa
sadar mengumpulkan koleksi buku hingga ratusan judul, namun karya saya sendiri?
Tidak bertambah.
Hingga
suatu hari saya memberanikan diri mengirim cerpen lama saya yang sudah saya
edit kembali kepada sebuah majalan yang khusus menerbitkan cerpen. Dana suatu
hari datang sebuah telepon yang menyampaikan bahwa cerpen saya terpilih menjadi
cerpen utama di edisi berikutnya namun dengan perubahan judul. Bahkan sebuah
pesan inbox facebook dari anggota redaksi majalah itu membuat saya senang tidak
terkira. “Tau gak? Cerpen kamu sukses bikin saya dan pimred menangis.” Itu adalah
pujian terbesar yang saya terima atas karya saya. Sejak saat itu saya pun
kembali memupuk mimpi dan semangat untuk terus mewujudkan diri menjadi penulis.
Ya,
saya sekarang memang penulis, karena saya menulis di blog. Namun yang saya
inginkan adalah kelak akan ada sebuah buku dengan nama saya terpampang di
sampul depannya. Dan itu adalah impian saya saat ini. Impian yang prosesnya
masih terus saya lalui. Impian yang kadang saya maju selangkah kemudian mundur
dua atau tiga langkah.
Keren Mba!!! Penulis berintegritas!!!
BalasHapus