Senin, 09 Juni 2014

I have a dream


Itu adalah sebuah kalimat yan terkenal yang didengungkan oleh Marthin Luther King, Jr. dalam pidatonya saat memperjuangkan hak orang-orang kulit hitam di Amerika. Saat itu masyarakat Amerika masih sangat rasis. Perbedaan hak yang didapatkan sangat mencolok. Tentang toilet yang dipisahkan berdasarakan warna kulit. Bahkan hingga rumah sakit pun dipisahkan berdasarkan warna kuliat.

Saat itu Marthin Luther King, Jr. menyatakan bahwa ia bermimpi (dan akan memperjuangkan mimpinya itu) bahwa kelak keturunannya tidak akan dinilai berdasarkan warna kulitnya melainkan berdasarkan watak mereka.

Maka kini saya pun menyatakan bahwa “I have a dream” yang dalam bahasa Indonesia saya artikan “Saya memiliki Impian”.

Impian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai barang yang diimpikan; barang yang sangan diinginkan.
Impian saya tidak sehebat milik Martin Luther King, tapi saya berharap kelak dengan mencapainya saya pun bisa memberi manfaat pada lingkungan sekitar saya. Mimpi saya sangat sederhana, saya ingin menjadi penulis.

Mimpi ini bukan muncul mendadak karena semakin banyaknya penulis yang berhasil memperoleh kekayaan dan popularitas karena tulisannya. Karena pada kenyataannya saya pun mengenal beberapa penulis yang tidak bisa menggantungkan hidup sepenuhnya pada proses kreatifnya. Ia tetap harus mencari sampingan. Bahkan ada yang secara langsung berkata, “Atria, kalau mau kaya jangan jadi penulis deh. Penghasilan penulis itu tidak menentu. Hanya keberuntunganlah yang membuat beberapa penulis itu menjadi kaya dan terkenal. Sisanya?? Ya seperti saya ini.”

Keinginan untuk menjadi penulis sudah terbit sejak saya kecil. Saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Karena menjadi anak perempuan satu-satu dan tidak diizinkan bermain di luar rumah, maka buku adalah salah satu pelarian saya. Awalnya dengan membaca majalah dan komik. Saat membaca majalah anak-anak saya tertarik pada kolom puisi yang terdapat di dalamnya. Saat itu saya sangat berharap bisa menemukan nama saya terpampang di dalamnya. Namun celotehan itu hanya dianggap angin lalu oleh mama dan papa. Saya yang tidak tahu bagaimana caranya bisa mengirim karya ke majalah tersebut pun akhirnya menyerah. Saya pun menuliskan puisi-puisi saya dalam sebuah buku yang sesekali saya perlihatkan ke pada mama dan papa. Namun karena mama sibuk mengurus kelima orang anaknya, dan papa sibuk mencari penghidupan untuk keluarganya; impian saya ini kembali meredup.

Di SMP saya berkenalan dengan sejumlah majalah remaja yang memuat cukup banyak cerpen dalam setiap edisinya. Saya melahap habis cerpen-cerpen tersebut sambil berpikir, “Kapan ya karya saya bisa terpampang di majalah?” sayangnya angan-angan ini pun tidak terwujud. Saya kemudian menyalurkan kegilaan saya pada membaca. Saya membaca dan membaca. Menulis hanya sekedar memenuhi tugas sekolah. Hingga saat kelas 3 SMP saya terdorong untuk mendirikan ekskul mading yang saat itu belum ada di sekolah. Keinginan saya ini didukung penuh oleh sekolah. Bersama 3 orang sahabat saya, kami memulai ekskul tersebut. Memasang pengumuman menampung karya puisi dan cerpen. Rapat tentang rubrik mading dan lain sebagainya. Sayangnya saat mading ini baru terbit 2 edisi, saya harus pindah sekolah dan sekali lagi impian saya meredup.

Di Sekolah Menengah Atas, saya kembali mencoba dunia kepenulisan. Saya mendaftarkan diri dalam organisasi jurnalistik di sekolah. Sayangnya kegiatan ini tidak bisa saya ikut maksimal karena aturan dari mama yang melarang saya bermain sepulang sekolah. “Pulang sekolah langsung pulang ke rumah,” itu adalah ultimatum tegas setiap pagi yang saya terima dari mama. Saya yang tidak punya keberanian (yang sering disebut terlalu “lurus” oleh kawan-kawan saya) pun patuh. Suatu hari, saya mengetahui bahwa ada lomba cerpen untuk siswa(i) SMA di kota tempat saya tinggal. Saya pun mengajak serta teman saya yang lain untuk mengikuti lomba tersebut. Naskah kami kirim bersama. Hingga akhirnya kami dikabari untuk hadir di bedah naskah yang diadakan di salah satu pusat perbelanjaan yang cukup terkenal di kota kami.

Saat itu, mama sudah marah-marah kepada saya. Ia tidak suka saya memupuk mimpi menjadi penulis. Katanya mau jadi apa saya dengan mimpi seperti itu. Mau jadi penulis? Mau makan apa dari hasil tulisan saya? Dan omelan ini terus berlanjut saat mengetahui saya bahkan tidak memenangkan satu kategoripun. Malah teman yang mengirim naskah bersama saya berhasil menyabet gelar juara satu. Sejak saat itu saya pun berfikir menyerah apalagi saat mengetahui teman saya ini sejak saat itu terus berprestasi dalam menulis. Iri dan sakit hati. Kesenangan saya menulis lama kelamaan mati. Saya tetap melahap buku-buku dan bahkan tanpa sadar mengumpulkan koleksi buku hingga ratusan judul, namun karya saya sendiri? Tidak bertambah.

Hingga suatu hari saya memberanikan diri mengirim cerpen lama saya yang sudah saya edit kembali kepada sebuah majalan yang khusus menerbitkan cerpen. Dana suatu hari datang sebuah telepon yang menyampaikan bahwa cerpen saya terpilih menjadi cerpen utama di edisi berikutnya namun dengan perubahan judul. Bahkan sebuah pesan inbox facebook dari anggota redaksi majalah itu membuat saya senang tidak terkira. “Tau gak? Cerpen kamu sukses bikin saya dan pimred menangis.” Itu adalah pujian terbesar yang saya terima atas karya saya. Sejak saat itu saya pun kembali memupuk mimpi dan semangat untuk terus mewujudkan diri menjadi penulis.

Ya, saya sekarang memang penulis, karena saya menulis di blog. Namun yang saya inginkan adalah kelak akan ada sebuah buku dengan nama saya terpampang di sampul depannya. Dan itu adalah impian saya saat ini. Impian yang prosesnya masih terus saya lalui. Impian yang kadang saya maju selangkah kemudian mundur dua atau tiga langkah.

1 komentar: